Emphaty. Where's?
Beberapa waktu lalu sesaat setelah terjadinya tsunami di pesisir Pangandaran, di kantor dengan beberapa teman kerja kami becanda soal bencana yang terjadi. Dan aku pun sempat membuat taruhan : setelah ini di daerah manakah di Indonesia yang bakal mendapat terkena bencana? Dan nyaris semua orang di bagian tempatku kerja menghakimi bahwa kami tidak mempunyai simpati dan keprihatinan terhadap mereka yang terkena bencana.
Memang sejak tsunami di Aceh kami menyikapi beberapa bencana yang terjadi dengan candaan dan joke2 konyol. Tapi apakah itu mengindikasikan bahwa kami tidak punya simpati? Secara pribadi aku jawab tidak. Dan tolong diingat candaan yang kami buat tak pernah kami tujukan kepada orang2 yang terkena bencana. Kami lebih sering membuat candaan tentang bencana itu sendiri dan kenapa Indonesia selalu dihantam bencana akhir2 ini.
Bagi manusia yang masih berakal dan memiliki nurani jelas pasti merasa sedih & prihatin ketika ratusan ribu jiwa saudara sebangsa harus kehilangan nyawa dengan cara seperti itu. Tapi bukankah setiap individu mempunyai caranya sendiri untuk mengungkapkan emosi & simpati terhadap apapun yang terjadi di sekililingnya. Jujur bagiku pribadi joke2 & candaan itu kulakukan untuk melarikan diri sejenak dari kesedihan yang kurasakan. Ketika air mata sudah tak lagi bisa keluar, ketika perut terasa mual menyaksikan eksploitasi media terhadap bencana & hati menjadi panas ketika manajemen dan distribusi bantuan tak juga membaik dari waktu ke waktu.
Mungkin benar bahwa hidup kami baik2 saja selama ini, tidak pernah dihadapkan pada situasi dimana nyawa kami benar-benar terancam. Tapi maaf jangan ajari kami cara ber-empati & bersimpati ketika TV tiada henti menyiarkan liputan bencana yang memilukan dan pada saat bersamaan kalian; para bapak ibu yang setiap harinya pulang pergi ke kantor menaiki mobil yang mengkilat, yang saldo tabungannya tak pernah berkurang dari tujuh digit saling berebut makanan sisa rapat pimpinan di kantor seolah-olah kalianlah yang paling lapar di bumi ini. Dan dengan tergesa-gesa menjejalkan makanan tersebut ke mulut masing2 sambil pasang muka sedih menatap layar TV yang mengabarkan beberapa lokasi yang masih belum tersentuh bantuan. Inikah yang kalian sebut dengan empati?
Huh kalian memang menyedihkan. Ketika kalian mewujudkan empati dengan menyumbang 50 ribu tiap bencana dengan embel2 pertanyaan 'apakah orang lain juga akan menyumbang dengan nominal yang sama ketika bencana menimpa daerahnya?' Damn! Kalo mo nyumbang ya nyumbang aja tanpa perlu diikuti ekspektasi bahwa orang lain akan menyumbang dengan jumlah yang samaketika kalian yang berikutnya terkena bencana. Inikah yang kalian sebut dengan empati?
So jangan salahkan aku jika lantas aku memilih kabur ke kantin menikmati secangkir kopi & beberapa batang rokok sambil mengirim SMS ke seseorang "Hay. online dong. kangen nih."
*dengan tidak mengurangi rasa hormat & simpati kepada semua korban bencana di seluruh penjuru dunia maaf jika kalian berpikir candaan yang kami buat itu untuk kalian. Percayalah itu bukan tentang kalian!*
-> teringat akan sebuah zine yg bertitel Emphaty Lies Far Behind. Masih terbitkah?
Memang sejak tsunami di Aceh kami menyikapi beberapa bencana yang terjadi dengan candaan dan joke2 konyol. Tapi apakah itu mengindikasikan bahwa kami tidak punya simpati? Secara pribadi aku jawab tidak. Dan tolong diingat candaan yang kami buat tak pernah kami tujukan kepada orang2 yang terkena bencana. Kami lebih sering membuat candaan tentang bencana itu sendiri dan kenapa Indonesia selalu dihantam bencana akhir2 ini.
Bagi manusia yang masih berakal dan memiliki nurani jelas pasti merasa sedih & prihatin ketika ratusan ribu jiwa saudara sebangsa harus kehilangan nyawa dengan cara seperti itu. Tapi bukankah setiap individu mempunyai caranya sendiri untuk mengungkapkan emosi & simpati terhadap apapun yang terjadi di sekililingnya. Jujur bagiku pribadi joke2 & candaan itu kulakukan untuk melarikan diri sejenak dari kesedihan yang kurasakan. Ketika air mata sudah tak lagi bisa keluar, ketika perut terasa mual menyaksikan eksploitasi media terhadap bencana & hati menjadi panas ketika manajemen dan distribusi bantuan tak juga membaik dari waktu ke waktu.
Mungkin benar bahwa hidup kami baik2 saja selama ini, tidak pernah dihadapkan pada situasi dimana nyawa kami benar-benar terancam. Tapi maaf jangan ajari kami cara ber-empati & bersimpati ketika TV tiada henti menyiarkan liputan bencana yang memilukan dan pada saat bersamaan kalian; para bapak ibu yang setiap harinya pulang pergi ke kantor menaiki mobil yang mengkilat, yang saldo tabungannya tak pernah berkurang dari tujuh digit saling berebut makanan sisa rapat pimpinan di kantor seolah-olah kalianlah yang paling lapar di bumi ini. Dan dengan tergesa-gesa menjejalkan makanan tersebut ke mulut masing2 sambil pasang muka sedih menatap layar TV yang mengabarkan beberapa lokasi yang masih belum tersentuh bantuan. Inikah yang kalian sebut dengan empati?
Huh kalian memang menyedihkan. Ketika kalian mewujudkan empati dengan menyumbang 50 ribu tiap bencana dengan embel2 pertanyaan 'apakah orang lain juga akan menyumbang dengan nominal yang sama ketika bencana menimpa daerahnya?' Damn! Kalo mo nyumbang ya nyumbang aja tanpa perlu diikuti ekspektasi bahwa orang lain akan menyumbang dengan jumlah yang samaketika kalian yang berikutnya terkena bencana. Inikah yang kalian sebut dengan empati?
So jangan salahkan aku jika lantas aku memilih kabur ke kantin menikmati secangkir kopi & beberapa batang rokok sambil mengirim SMS ke seseorang "Hay. online dong. kangen nih."
*dengan tidak mengurangi rasa hormat & simpati kepada semua korban bencana di seluruh penjuru dunia maaf jika kalian berpikir candaan yang kami buat itu untuk kalian. Percayalah itu bukan tentang kalian!*
-> teringat akan sebuah zine yg bertitel Emphaty Lies Far Behind. Masih terbitkah?
0 comments:
Post a Comment